life

Membaca & Menulis

February 25, 2018

Akhirnya gue baca buku lagi, setelah meninggalkan kebiasaan baca buku selama bertahun-tahun.

Sejak menginjak remaja, tepatnya akhir SD, gue suka banget baca dan koleksi buku (Ya meskipun mostly novel-novel remaja sih). Hobi ini gue jalani sampe yaa mungkin SMA atau awal kuliah kayaknya? Sampe-sampe temen sekolah gue pernah ngomong, "Dyani tuh kalo ngomong depannya, 'Kalo dari yang gue baca...'". Lalu di akhir SMA gue mulai mengenal smartphone, mulai sering pake laptop papa buat internetan, terus pas kuliah mulai kenal dunia luar, perlahan kebiasaan membaca pun menghilang.

Sejak kuliah dan mengenal banyak orang, gue jadi lebih seneng ngobrol sama orang. Ngobrol, diskusi. Memang, kata orang buku itu jendela dunia dan kita bisa memperluas wawasan dengan membaca buku. Tapi dengan diskusi dan ngobrol sama orang, itu juga bisa banget memperluas wawasan kita, melihat sudut pandang orang lain, denger topik-topik yang sebelumnya kita ga pernah tau adanya, dan interaksinya bisa timbal-balik dibanding baca buku yang hanya satu arah. Dengan adanya temen diskusi, kita bisa dikoreksi kalo ada salah, bisa memperdalam pengetahuan kita. Dan semakin gue menikmati diskusi sama orang, semakin luntur lah minat membaca gue. Paling baca buku cuma buku kuliah. Tapi gue sesuka itu sih baca buku kuliah karena sangat insightful dan enlighten me.

Papa sering banget nyodorin buku-buku bagus tentang pengembangan diri. Gue juga beberapa kali beli buku karena tertarik. Tapi ujung-ujungnya ngga disentuh sama sekali, bahkan sampe sekarang masih diplastikin. Bener-bener minat baca buku gue seluntur itu. Kalo baca artikel di internet sih masih suka-suka aja.

Sampai kemarin, setelah bertahun-tahun, gue coba baca buku lagi. Jangan ketawain gue setelah tahu buku apa yang gue baca kemarin. Buku ini adalah buku terbarunya Raditya Dika: Ubur-ubur Lembur. Oke, pembaca tulisan ini boleh kecewa karena buku yang gue baca bukan buku yang wow seperti di bayangan temen-temen.

Kenapa buku ini? Satu, karena adek gue yang beli buku ini sangat sangat nyuruh gue baca buku ini. Dua, karena follow Instagram-nya RD, gue jadi kemakan marketing dan review yang bilang buku ini bagus. Ya sudah lah berhubung lagi ada waktu dan bosen dengan rutinitas juga, gue mulai membuka halaman pertama buku ini.

Sampai dengan tulisan ini di-post, gue baru baca setengah bukunya. Jujur gue lebih suka novel-novel sebelumnya sih, Manusia Setengah Salmon kalo ga salah. Di novel sebelumnya lebih ada pelajaran yang bisa diambil, sedangkan sejauh yang gue baca di Ubur-ubur Lembur ini lebih kayak cerita sehari-hari aja gitu tanpa ada meaningful insight-nya.

Tapi disini gue bukan mau nge-review buku tersebut. Dari buku itu, gue disadarkan bahwa menulis itu bisa dengan cerita sederhana dan kejadian sehari-hari kita. Nulis ngga perlu panjang dan mendalam. Cukup tulis pengalaman atau pemikiran kita sehari-hari. Tulis insight yang kita dapet sehari-harinya.

Seringkali ketika mau nulis, gue terjebak dengan perfeksionismenya gue yang pengen tulisan itu harus bagus, detil, harus komprehensif, harus pengalaman unik atau pemikiran yang insightful. Ujung-ujungnya mau mulai nulis aja males karena mikirin effort yang harus gue keluarkan untuk bikin satu tulisan. Ujung-ujungnya gue rada lupa mau nulis apa. Gue lupa bahwa dulu suka nulis hal remeh temeh. Kalo suka nulis pemikiran-pemikiran sederhana yang gue dapet dari pengalaman sehari-hari.

Dan gara-gara baca novelnya RD itu, gue jadi terpacu untuk nulis lagi. Untuk membuat tulisan-tulisan sederhana, tulisan yang diambil dari kejadian-kejadian sehari-hari tapi bisa memberikan insight tersendiri. Dan gue jadi terpacu untuk mulai membaca lagi. Karena ternyata gue punya banyak waktu dan somehow, jadi ngerasain lagi bahwa baca buku itu ada kenikmatannya tersendiri apalagi kalo jadi tercerahkan dengan membaca :)

You Might Also Like

0 comments