life

Pause

March 08, 2020

Beberapa waktu lalu gue ngerjain sebuah konten tentang mindful parenting. Salah satu kontennya mengajarkan tentang how to respond, not react. Apa bedanya?

Bedanya ada pada proses berpikir dan memilih. Ketika ada suatu hal terjadi, kadang kita refleks untuk bereaksi tanpa pikir panjang. Misalnya kalo dalam kasus parenting, pas anak mecahin piring biasanya orang tuanya otomatis marah tanpa pikir panjang. That's reacting. Sementara itu, ketika berespon, respon kita ga otomatis. Ada proses berpikir disitu, ada jeda sejenak. Kita bisa memilih apa yang akan dilakukan. Apakah akan marah? Apakah akan menasehati? Apakah akan bersihin pecahan piringnya dulu? Atau akan melakukan hal lain? Apapun pilihannya, pilihan tersebut ada alasannya karena udah melalui proses berpikir, nggak otomatis. That's responding.

Dalam konsep mindfulness, kita diajarkan untuk memahami apa yang terjadi di sekitar kita, baik di lingkungan luar diri maupun di dalam diri. Mengambil waktu sejenak untuk berpikir dan memahami, baru berespon.

Belakangan ini, gue ngerasa kehidupan lagi cepet banget pace-nya. A bit too much going on in my life. Seneng, sedih, kesel, kecewa, dateng secara cepat tanpa mengizinkan untuk gue berpikir. Yang gue rasakan hanya merasa. Merasa senang, merasa sedih, merasa kesel, merasa kecewa, tapi ngga cukup waktu untuk berpikir kenapa. Kenapa gue seneng, kenapa gue sedih, kenapa kesel, dan kenapa kecewa. Padahal mungkin beberapa perasaan itu ga perlu dirasain.

Menurut temen-temen, gue tergolong orang yang tenang dalam menghadapi berbagai situasi. Nah belakangan ini gue ngerasa ga cukup tenang, tapi cukup gegabah. Disitu rasanya gue pengen narik diri sendiri untuk ga cepet-cepet bereaksi.

Pas udah agak overwhelmed dengan perasaan, gue pun coba untuk berhenti sejenak. Mengambil jarak dari lingkungan dan mengajak diri untuk berpikir dan mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Mencoba menyeimbangkan emosi dan logika. It's okay not to talk to others for a while, it's okay not to respond text fast, it's okay to take time for yourself.

Sempet gue berpikir, kok repot amat sih nyetop-nyetop perasaan? Biarin aja sih lagi seneng. Biarin aja sih sedih. Kok kayaknya melarang diri untuk merasa. Ngga, bukan itu. Mungkin ini salah satu bentuk perlindungan diri gue. Supaya ga terlarut seneng, ibarat lari kenceng-kenceng sampe-sampe ga liat lubang di depan mata, eh tau-tau jatoh karena ngga ngeh sama celah dan lubang itu. Kalo jalan cepet aja kan masih bisa ngeliat dan ada waktu untuk antisipasi lubang tersebut. Begitu juga pas sedih. Jangan sampe fokus menyelam terlalu dalam sampe ngga ngeliat ada cahaya di suatu sudut. Padahal mungkin masih ada titik terang di suatu sudut.

Dan biasanya setelah mengambil jarak, mencerna, dan memahami keadaan, rasanya jauhhh lebih adem. Ngga uring-uringan ga jelas, ngga galau ga jelas, dan ga seneng berlebihan. Penting memang untuk menyeimbangkan emosi dan logika. Biar tetep rasional, biar ga terlarut emosi, biar bisa ambil keputusan yang lebih baik.

Kalo emang belom bisa memainkan logika, gapapa. Biarkan perasaannya yang bermain dulu, jangan dilarang, biarkan jadi manusia yang punya rasa. Kita bukan robot. Tapi jangan kelamaan, nanti malah dipermainkan perasaan :-) You have to know when to stop.

So, take a deep breath, and learn how to respond, not react.

You Might Also Like

0 comments