2020 adalah tahun yang sangat emosional buat gue. Selama berbulan-bulan, gue dihadapkan pada berbagai macam kejadian yang memicu emosi, baik seneng, sedih, marah, kecewa, dll. Bisa gue bilang tahun ini jauh lebih emosional dibanding tahun-tahun sebelumnya yang yah gitu aja. Kalo boleh gue gambarin, mungkin dinamika emosinya kayak gini:
Menurut gue emosi itu perlu kita kenali dan kita kasih label. Ketika ngerasain sesuatu, perlu aware sebenernya emosi apa sih yang kita rasain. Ketika lagi merasakan emosi negatif apakah sebenernya kita lagi sedih, marah, kecewa, atau apa? Kenapa kita ngerasain itu? Dengan mengenali emosi apa yang sebenernya lagi dirasain, buat gue itu membantu untuk memahami dan akhirnya menerima emosinya. "Oh sebenernya gue lagi takut karena blablabla", "Oh gue tuh rungsing seharian karena gue kesel dia begini begini. Eh, apa iya gue kesel sama dia? Hmm kayaknya sebenernya gue kecewa karena gue punya ekspektasi dia harusnya begini begini".
Kalo tahun-tahun sebelumnya mudah buat gue mengenali emosi apa yang lagi gue rasain, tahun ini cukup sulit karena emosi yang dirasain cukup kompleks. Ngga mudah untuk melabeli emosi yang lagi dirasain, apalagi kalo ternyata ada beberapa emosi sekaligus yang dirasain, it's mixed feelings. Kalo kalian pernah nonton film Inside Out, di ending film si anak kecilnya baru mengenal konsep mixed feelings kayak seneng tapi sekaligus sedih. Bisa banget manusia tuh ngerasain emosi yang campur aduk. Dan kalo masih belum bisa melabeli emosi yang dirasain, that's okay. Mungkin memang sekompleks itu.
Sebagai orang yang mengedepankan logika, hampir semua tindakan, pikiran, dan perasaan gue kontrol pake logika. Berusaha selalu berpikir jernih, berusaha selalu mencari alasan atau rasionalisasi dari semua hal, berusaha membuat semua menjadi make sense. Sampe kadang temen gue geleng-geleng "Kamu tuh ya Dy, (apapun kondisinya) logikanya jalan terus". Akhirnya, banyak pikiran kayak "harusnya...", "mungkin karena...", "mungkin kalau... maka..." dan rasionalisasi-rasionalisasi lainnya. Juga berusaha mengontrol perasaan dengan bilang "Harusnya ga perlu ngerasain ini. Harusnya gue merasakan itu". Ngga sadar bahwa it doesn't work like that.
Selama ini cara-cara tersebut works di gue. Tapi, ternyata di tahun ini nggak sepenuhnya berhasil. Mungkin secara logika tau apa yang seharusnya dilakukan, secara logika bilang "ngga perlu merasakan ini", tapi perasaan ngga bisa boong. Perasaannya tetep ada disitu, menetap, sampai akhirnya baru gue sadari bahwa perasaan itu harus diproses baru bisa lepas. Dia perlu diproses; dikenali, dicerna, dan diterima. Ternyata ngga bisa cuma "Ah biarin aja, nanti juga ilang sendiri". Mungkin iya kadang perasaan itu ilang sendiri, tapi ternyata sebagian perasaan menetap seharian, atau bahkan berhari-hari. Semakin berusaha menolak dan mengabaikan, ternyata dia semakin minta untuk diakui.
Kalo di alam sadar dia ga diakui dan berusaha ditekan, munculnya bisa di level semi sadar atau alam bawah sadar misalnya lewat mimpi. Dan (menyebalkannya) di tahun ini gue cukup sering memimpikan apa yang gue hindari untuk pikirkan saat gue lagi di level sadar. Padahal gue bukan tipe orang yang gampang kebawa mimpi. Disitu akhirnya gue semakin sadar bahwa ya, itu semua harus diproses supaya gue bisa let go dan ngga terkungkung sama emosi itu. Perlu diakui bahwa, "Iya gue lagi kecewa", "Iya gue lagi takut", atau "Iya, gue seneng banget".
Emosi yang diproses pun ga cuma emosi negatif. Emosi positif pun kadang gue ngerasa perlu diproses. Kenapa? Supaya ngga salah tafsir. Misal, kita lagi tertarik sama seseorang, perlu identify apakah kita itu suka, seneng, atau cuma penasaran aja. Bisa jadi kita pikir kita suka sama orang itu, nyatanya setelah dipikir-pikir, kita cuma penasaran sama orang itu, atau seneng aja ketemu orang baru, belum sampai level suka.
Jadi penting banget untuk mengelola emosi yang lagi dirasain. Perlu ambil waktu untuk mengelola itu, bukan serta-merta diabaikan dengan nyibukkin diri melakukan ini-itu. Hal ini pun baru gue sadari setelah ngobrol sama seorang psikolog. Dia bilang kita baru bener-bener bisa berpikir jernih, memikirkan apa yang seharusnya dilakukan, itu setelah emosinya dikelola dengan baik. Setelah di-release. Jadi perlu cari cara untuk me-release emosi. Kalo dalam psikologi, cara untuk melepaskan emosi ini disebut dengan katarsis.
Banyak banget cara yang bisa dilakuin untuk katarsis atau me-release emosi, misalnya dengan nangis, teriak, nyanyi sekenceng-kencengnya, olahraga, ngelukis, dan lain-lain. Setiap orang punya caranya masing-masing. Mungkin hal-hal yang gue sebutkan barusan ngga menyelesaikan masalah yang sebenarnya lagi dihadapi, tapi bisa melepaskan emosi yang dirasakan, dan itu adalah tahap awal sebelum akhirnya bisa menyelesaikan masalah.
Buat gue pribadi, cara-cara yang efektif untuk me-release emosi adalah dengan cerita, nulis, refleksi diri atau ngajak ngobrol diri sendiri, olahraga, dan lately yang baru gue sadari adalah main piano. Baik emosi negatif ataupun positif, keduanya bisa gue lepaskan lewat cara-cara tadi. Loh, emang emosi positif juga perlu dilepasin? Kadang iya. Pernah ngga sih kadang terlalu seneng atau excited sama sesuatu akhirnya jadi susah tidur atau ga fokus kerja karena masih terlalu seneng sama sesuatu? Kayak anak sekolah yang besoknya mau field trip, malemnya malah susah tidur karena terlalu excited. Kalo gue pernah, dan untuk mengurangi emosi yang lagi naik banget itu gue pilih olahraga kardio kayak dance, main piano lagu-lagu ceria atau tempo cepet, atau nulis dan cerita aja. Ketika udah berada di optimum level lagi dan udah bisa fokus, baru bisa beraktivitas lagi.
Bukan berarti ngga boleh ngerasain emosi positif, boleh banget, harus malah kalo buat gue, tapi jangan terlalu aja. Yang namanya terlalu itu biasanya ngga baik. So it's important to keep your emotion at optimum level. Lalu yang dibilang optimum itu batasnya yang segimana? You're the one who knows. Indikatornya adalah selama masih bisa beraktivitas dengan baik, dengan optimal, artinya masih berada dalam optimum level.
Jadi, kalo sekarang sering ngerasa rungsing tanpa alasan yang jelas, coba dikenali apa yang sebenernya dirasain, cari tau penyebabnya, coba akui dan terima, dan coba dilepaskan. Coba mulai cari cara-cara yang bisa dilakuin untuk melepaskan emosi. Cara yang efektif buat satu orang belum tentu efektif untuk orang lainnya. Mencari cara yang efektif itu pun adalah sebuah proses dan perjalanan, ngga perlu semua harus ditemukan sekarang. Terakhir, mengutip dari postingan Instagram yang baru gue liat,
"Feelings are just visitors, let them come and go."