college
Kalo Roda Itu Berputar, Mungkin Gue Lagi di Bawah, Terinjak Roda, dan Sampe Masuk ke Tanah
November 27, 2012
Gue baru aja ngalamin kejadian yang nggak ngenakin. Sangat nggak ngenakin. Ada sebuah tugas makalah di salah satu mata kuliah di semester ini. Tugas tersebut dibuat secara berkelompok. Karena satu dan lain hal, mayoritas isinya adalah gue yang bikin, mulai dari nyari sumber data, sumber informasi dan teori, penulisan, sampai editing. Bisa dibilang kontribusi gue disini cukup besar.
Karena ada panggilan untuk ke imigrasi di hari mata kuliah ini berlangsung, gue bertanya pada koordinator kelas apakah tugasnya hanya mengumpulkan makalah atau dengan presentasi juga. Kalo ternyata pakai presentasi, gue bisa presentasi dulu baru izin. Katanya, makalah aja. Oke, akhirnya gue memutuskan untuk nggak masuk hari itu.
Siangnya gue dapet kabar kalo ternyata hari itu disuruh presentasi juga, dan kelompok gue mendapat sambutan positif baik dari dosen maupun teman-teman karena sumber presentasi tersebut. Gue seneng banget dengernya, karena bukan apa-apa, itu sumber gue yang nemu dan gue seneng kalo hasil usaha gue mendapat sambutan positif dari orang-orang. Tapi ternyata presentasinya bukan presentasi resmi. Hanya presentasi singkat (dan kayaknya singkat banget) yang ga komprehensif.
Lalu beberapa hari kemudian keluarlah nilainya di SIAK. Ternyata nilai gue lebih rendah 3 poin sama temen-temen sekelompok gue. Hmm.. ini karena salah input atau karena gue ga ikut presentasi? Pertanyaan itu terus ada di pikiran gue. Guepun memutuskan untuk tanya ke dosennya di jam kuliah nanti.
Paginya, sebelum jam kuliah dimulai, gue ngecek daftar absen siapa aja yang juga ga masuk di hari presentasi itu. Ternyata ada dua orang lagi. Guepun nanya ke mereka apakah nilai mereka beda dengan nilai kelompoknya. Surprisingly, nilai mereka itu setengah dari nilai kelompoknya! Jauh lebih parah dari gue yang cuma beda 3 poin. Andai kata nilai kelompok mereka itu 80, nilai mereka 40. Bobot nilai makalah itu cukup besar pula. Terus ternyata temen gue itu juga mau nanya ke dosennya tentang nilai tersebut.
Perkuliahanpun berlangsung.
Selesai jam kuliah, pas gue lagi beres-beres gue liat salah satu temen gue itu lagi ngomong sama dosennya. Diapun manggil gue. Lalu terjadilah percakapan ini:
Dosen (D): Kamu nilainya berapa?
Gue (G): Saya XX, cuma beda 3 poin mbak sama kelompok saya
D: Oooh berarti saya salah masukin. Seharusnya yang nggak ikut presentasi nilainya setengah dari nilai kelompok. Kalo yang beda 3 poin itu yang telat ngumpulin.
Percakapan tersebut berlanjut antara gue, temen gue itu, dan dosen.
Pada intinya dosen tetap pada prosedur penilaian dimana yang nggak ikut presentasi nilainya setengah dari temen-temennya. Nggak peduli sesimpel apa presentasinya. Namun beliau masih berbaik hati memberikan kesempatan remedial untuk kami dengan memberi kami tugas untuk membuat makalah sendiri dari jenis sumber yang berbeda.
Setelah percakapan selesai, gue banyak di-nggak-enak-in sama orang-orang. Si temen gue ini minta maaf banget karena dia ga bermaksud untuk nurunin nilai gue, tapi dia pengen naikin nilai dia tapi ternyata malah nurunin nilai gue. Temen sekelompok gue juga bilang nggak enak karena merasa sangat sedikit kontribusinya tapi malah gue yang harus ngulang. Dan sebagainya.
Di satu sisi gue ngerasa itu semua nggak adil, karena gue yang kerja keras, tapi gue ga menikmati hasilnya. Malah harus merasakan pahitnya. Ibaratnya lo udah capek-capek numbuhin bibit pohon sampe tumbuh tinggi, lalu ditebang sama orang lain untuk dipake hasilnya. Tapi di satu sisi gue merasa untung tau sekarang, daripada nanti dosennya sadar kalo dia salah masukin nilai, dan ngubah nilai itu di akhir-akhir. Kan gawat kalo udah ga bisa diperbaikin.
Gue berusaha ningkatin self-efficacy gue kembali. Sore itu juga gue langsung bikin makalahnya lagi dan makalah tersebut selesai dalam satu hari karena memang dituntut untuk cepat selesai. Gue merasa beruntung juga karena kemaren kan gue terlibat banyak dalam proses pembuatan makalahnya, jadi gue tau apa yang harus gue kerjain dan itu memudahkan proses pembuatannya. Kata temen gue, kata dosennya, kalo kami bikinnya maksimal, nilainya bisa disamain sama nilai kelompok tapi nggak mungkin lebih dari nilai kelompok. Tapi gue agak cemas dalam pembuatan makalah itu, takut isinya terlalu mirip sama makalah gue kemaren dan disangka niru. Abis mau gimana, orang makalah yang kemaren kan emang mayoritas isinya tulisan gue dan pakai bahasa gue, ya pasti ga jauh beda sama tulisan-tulisan gue yang lain.
Format penulisan gue bikin semirip mungkin sama yang kemaren, agar bisa mendapat "nilai maksimal" tersebut. Yang gue takutin lagi adalah adanya bias sumber. Takutnya nilai kelompok gue itu tinggi karena sumber makalahnya. Takut kalo sumber gue kali ini nggak semenarik sumber yang kemaren dan takut itu berpengaruh ke nilai juga. Apapun itu, gue pasrahlah, yang penting kenyataannya gue nggak gabut.
Di hari deadline, gue sengaja dateng pagi-pagi untuk ngumpulin makalah tersebut. Bahkan gue dateng sebelum dosennya dateng, ketika ruangannya masih dikunci. Selesai ngumpulin, gue pasrah sama hasilnya, yang penting gue udah berusaha.
Barusan, baru aja, gue cek iseng cek nilai di SIAK. Ternyata nilai makalah gue udah berubah. Tapi jadi jauh menurun. Memang udah nggak setengah dari nilai kelompok, tapi jauh dibandingkan nilai sebelumnya. Saat itu juga gue ngerasa kecewa sekecewa-kecewanya. Meskipun pasrah, gue cukup berharap kalo nilai yang didapet bakal maksimal. Tapi ternyata gue yang kerjanya dobel, tripel mungkin, cuma dapet nilai segitu. Gue ngerasa nggak adil. Isi makalah gue nggak jauh beda sama makalah sebelumnya. Gue bener-bener ngerasa kecewa dan nggak adil.
Pada kasus ini, pada kejadian ini, gue nggak tahu siapa yang salah dan siapa yang harus disalahkan. Gue merasa semuanya nggak ada yang salah. Ga ada pihak manapun yang salah. Dosen menjalankan prosedur dengan sesuai bahkan beliau berbaik hati untuk ngasih remedial, temen-temen gue kurang kontribusi karena satu dan lain hal yang memang susah untuk diatasin, dan gue yang nggak masuk karena ya itu tadi alesan di atas.
Yah, mungkin sekarang gue harus berusaha untuk ikhlas dan menerima kejadian tersebut, melupakan semua perasaan kecewa gue, dan melihat sisi positif bahwa nilai gue nggak seburuk yang seharusnya. Yap, mencoba ikhlas itu nggak gampang, tapi pasti bisa.